PEKANBARU – Nama Gubernur Riau, Abdul Wahid, kembali menjadi sorotan publik setelah dilaporkan oleh organisasi masyarakat Pemuda Tri Karya (Petir) ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
Laporan tersebut terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan korupsi dalam aktivitas eksplorasi tambang granit yang dilakukan PT Malay Nusantara Sukses (MNS) di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) Desa Keritang Hulu, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir.
Abdul Wahid yang tercatat sebagai salah satu komisaris di PT MNS mengaku pasrah menanggapi laporan tersebut.
“Mau bagaimana lagi, namanya juga era transparansi. Kita tunggu saja prosesnya,” ujarnya singkat, dikutip dari oketimes.com, Selasa (17/6).
Saat dimintai komentar mengenai dugaan maladministrasi dan pelanggaran PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang pengelolaan kawasan hutan, Abdul Wahid memilih irit bicara.
“Itu sudah masuk ranah aparat hukum. Biarkan mereka yang mengusut,” katanya sebelum menutup sambungan telepon dengan alasan tengah mengikuti rapat.
Menurut laporan Petir yang dilayangkan pada 7 November 2024, PT MNS diduga beroperasi tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Bukti-bukti yang disertakan di antaranya peta citra satelit dan hasil pencocokan data geoportal KLHK.
Potensi kerugian negara diperkirakan cukup besar. Berdasarkan perhitungan denda administratif dalam PP Nomor 24 Tahun 2021, tarif denda mencapai Rp1,6 juta per hektare per tahun. Dengan asumsi penggunaan 198 hektare selama tiga tahun, total denda yang seharusnya dibayar PT MNS mencapai sekitar Rp9,5 miliar.
Tak hanya itu, nama Abdul Wahid juga dikaitkan dengan hasil penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi dana CSR Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut adanya kerugian keuangan negara hingga Rp28,2 triliun dari pengelolaan dana CSR tersebut. KPK sejauh ini telah menetapkan dua anggota Komisi XI DPR RI sebagai tersangka, yakni Satori (NasDem) dan Heri Gunawan (Gerindra).
Kuat dugaan mayoritas anggota Komisi XI DPR RI turut terlibat. Nama Gubernur Riau Abdul Wahid bahkan disebut-sebut dalam daftar penerima dana sebagaimana diberitakan salah satu media online di Jakarta, MI, pada 11 Agustus 2025.
Aktivis 98, Erwin Sitompul, yang pernah menjadi tim relawan Prabowo Subianto, mendesak pemerintah pusat memberi perhatian serius terhadap berbagai kasus yang menyeret nama pejabat Riau, termasuk Gubernur.
“Kalau KPK dan Kejaksaan sulit menyentuh Gubernur, maka kami mendesak agar persoalan ini menjadi perhatian Presiden Prabowo. Kita ingin pemerintahan yang bersih tanpa korupsi,” ujarnya.
Menurut Erwin, pejabat yang tersandung kasus korupsi akan mengganggu jalannya roda pemerintahan di Riau. Karena itu, ia meminta kepastian hukum segera ditegakkan.
“Kalau memang terlibat, aparat hukum harus memperjelas statusnya. Jangan dibiarkan menggantung terlalu lama. Ini harus jadi pelajaran bagi pejabat lain yang suka memperkaya diri dan makan uang rakyat,” tegasnya.
Di sisi lain, warganet di berbagai platform media sosial ramai-ramai mengecam para pelaku korupsi dana CSR BI dan OJK. Banyak yang menilai dana CSR seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, bukan justru mengalir ke kantong para politikus dan pihak yang tidak berhak.***