PEKANBARU - Integritas pengadaan barang dan jasa di sektor hulu migas kembali tercoreng. Tender raksasa bernilai triliunan rupiah di PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), khususnya pada paket Work Unit Rate – Earthwork (WUR EW), diduga kuat sarat praktik “permainan kotor” yang mencederai prinsip persaingan sehat dan akuntabilitas.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, dalam tender yang terbagi ke dalam enam sub-paket tersebut, muncul indikasi kuat persekongkolan tender (bid rigging) melalui praktik Hubungan Istimewa antarperusahaan peserta lelang—sebuah pelanggaran serius dalam tata kelola pengadaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Dua Perusahaan, Satu Pengendali
Sorotan utama mengarah pada dua perusahaan peserta tender, yakni PT Rifansi Dwi Putra dan PT Veanjo Sistbro. Keduanya diduga berada di bawah kendali satu Beneficial Owner yang sama.
Jika dugaan ini terbukti, maka keberadaan kedua perusahaan dalam satu tender merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap:
PTK 007 SKK Migas, serta
Pedoman Pengadaan Barang/Jasa PHE A7-001,
yang secara tegas melarang perusahaan terafiliasi atau berkepemilikan sama mengikuti tender yang sama.
“Kalau satu pemilik memakai dua bendera perusahaan untuk masuk tender yang sama, itu bukan lagi kompetisi, tapi kamuflase,” ujar seorang narasumber yang memahami proses pengadaan migas.
Indikasi Kuat: Dari Aset hingga Kantor
Indikasi hubungan istimewa tersebut tak berhenti pada struktur kepemilikan. Secara faktual, kedua perusahaan disinyalir:
Menggunakan lokasi kantor yang sama,
Berbagi fasilitas produksi,
Hingga armada operasional yang identik.
Kondisi ini menguatkan dugaan adanya mens rea atau niat jahat untuk “memakan kue proyek” sendirian dengan cara memecah diri secara administratif.
Praktik semacam ini jelas bertentangan dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 dan PTK 007 Revisi 5, yang menempatkan transparansi dan persaingan sehat sebagai prinsip utama pengadaan negara.
Panitia Tender Diduga Tahu, Tapi Diam
Yang lebih mengkhawatirkan, sumber menyebutkan bahwa Panitia Tender PHR diduga mengetahui adanya hubungan istimewa tersebut, namun tetap meloloskan proses lelang tanpa tindakan tegas.
“Ini yang menjadi tanda tanya besar. Kalau panitia tahu lalu membiarkan, berarti bukan sekadar kelalaian, tapi berpotensi masuk ranah pembiaran,” tegas sumber tersebut.
Padahal, konsekuensi hukum atas persekongkolan tender tidak main-main:
mulai dari diskualifikasi, blacklist, hingga tuntutan pidana jika terbukti merugikan keuangan negara.
Desakan Keras: APH Harus Turun Tangan
Atas dugaan kecurangan tender bernilai triliunan rupiah ini, publik mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera turun tangan melakukan audit dan investigasi menyeluruh.
Beberapa tuntutan yang mengemuka antara lain:
1. Memanggil dan memeriksa Panitia Tender PHR yang terlibat dalam pengadaan paket WUR EW.
2. Memeriksa jajaran manajemen PHR yang bertanggung jawab atas pengawasan dan pengambilan keputusan strategis.
3. Mengusut potensi pelanggaran PTK 007, konflik kepentingan, hingga dugaan penyalahgunaan wewenang.
“Kalau praktik seperti ini dibiarkan, maka pengadaan di sektor migas hanya akan jadi ajang bancakan, bukan kompetisi,” ujar narasumber.
Ujian Serius Tata Kelola Migas
Kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen Pertamina Hulu Rokan dan SKK Migas dalam menjaga tata kelola yang bersih, transparan, dan antikorupsi.
Audit menyeluruh dan penegakan hukum dinilai sebagai satu-satunya jalan untuk membongkar dugaan praktik haram ini sekaligus memulihkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan sektor hulu migas nasional.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT Pertamina Hulu Rokan belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan tersebut.***
sumber: monitorriau.com